الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على
نبينا محمد، وعلى آله وصحبه أجمعين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأن محمدا عبده ورسوله، وبعد:
Inilah sebahagian wasiat yang saya wasiatkan
pada diri saya dan kepada saudara saya dari kalangan para pendidik. Dan saya
meminta kepada Allah Ta’ala semoga kita bisa mengambil manfaat dengannya.
Pertama : Mengikhlashkan niat karena Allah
Ta`ala dalam mendidik anak-anak didik dan saudara-saudara dari kalangan
penuntut ilmu dan mendidik mereka sesuai dengan apa yang diridhoi oleh Rabb
Jalla wa `Alaa. Kemudian sabar dan mengharapkan ganjaran atas amalan tersebut
dari Allah Subhaana wa Ta`ala dan semata-mata mengharapkan pahala
dari-Nya.
Berkata sebagian ahli ilmu : “al-Ikhlash
ialah jangan kamu mencari atas amalan engkau saksi selain Allah Ta`ala, tidak
juga pemberi ganjaran kepada selainNya. Dan inilah sebenarnya hakikat dari ad
Din serta miftah (kunci) dakwah para Rasul `Alaihimus Sholaatu was Sallaam”.
Allah Jalla Jalaaluhu berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
mereka ber`ibadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) Din yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, dan yang demikian itulah Din yang lurus. (QS. Al Baiyyinah :
5)
Dan Allah Ta`ala berfirman :
قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ
مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ # قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ # لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا
أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah
ditunjuki oleh Rabbku kepada jalan yang lurus, (yaitu) Din yang benar,
Din Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang
musyrik”. Katakanlah: “Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam”. Tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah)”. (QS. Al An`am : 161-163)
Keikhlashan merupakan syarat untuk
diterimanya amalan. Sesungguhnya satu amalan tidak akan diterima oleh Allah
Ta`ala kecuali dengan dua syarat :
1. Hendaklah amalan tersebut zhohirnya cocok
dengan apa yang disyari`atkan Allah Ta`ala dalam kitab-Nya atau dijelaskan oleh
Rasul-Nya Shollallahu `alaihi wa Sallam.
Al Bukhaari dan Muslim telah meriwayatkan
dalam shohih mereka berdua, hadist dari jalan `Aaisyah radhiallahu `anha, bahwa
Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barang siapa yang mengada-ada (mengadakan
satu bid`ah) dalam perintah Kami ini yang bukan bagian darinya maka dia
tertolak”.[1]
2. Hendaklah amalan tersebut ikhlash
semata-mata liwajhillahi Ta`ala.
Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan
satu hadist dari jalan `Umar bin al Khotthab radhiallahu `anhu bahwa Nabi
Shollallahu `alaihi wa Sallam bersabda :
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya seluruh amalan tergantung
dengan niat, dan sesungguhnya setiap manusia mendapatkan apa yang dia
niatkan”.[2]
Berkata al Fudhail bin `Iyaadh : “Amalan yang
paling baik ialah amalan yang paling ikhlash dan paling benar”, kemudian beliau
melanjutkan perkataannya : “Sesungguhnya satu amalan apabila ikhlash dilakukan
tapi tidak benar (tidak cocok dengan tuntunan Nabi Shollallahu `alaihi wa
Sallam) tidak akan diterima oleh Allah Jalla Jalaaluhu, dan apabila benar
tetapi tidak ikhlash tidak juga diterima, sampai amalan itu betul-betul ikhlash
dan benar, al-khoolish (ikhlas) semata-mata karena Allah, dan ash-showab
(benar) betul-betul cocok di atas as Sunnah”.[3]
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan tentang
ikhlash, yakni dimana seorang hamba mengamalkan satu amalan yang sholih,
kemudian dia tidak peduli dengan pantauan manusia atasnya, bahkan kalau amalan
sholih tersebut dinisbahkan kepada selain dirinya akan membuat dia gembira.
Demikian itu dikarenakan ilmunya dan bahwasanya dia dipelihara disisi Allah
Ta`ala.
Dan dikatakan kepada Sahl at Tustariy : “Apa
sesuatu yang sangat berat atas jiwa? Kata beliau : “al Ikhlash, karena tidak
ada bagi jiwa tersebut bagian – artinya dari bentuk keduniaan – .”
Kedua : Bertakwa kepada Allah Ta`ala, dan
selalu merasa diawasi oleh-Nya, baik ketika nampak maupun tidak nampak.
Sesungguhnya takwa kepada Allah `Azza wa Jalla merupakan wasiat untuk
orang-orang terdahulu dan sekarang.
Allah Ta`ala berfirman:
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الأرْضِ وَلَقَدْ وَصَّيْنَا الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ
وَإِيَّاكُمْ أَنِ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ لِلَّهِ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ غَنِيًّا حَمِيدًا
“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang di langit
dan yang di bumi, dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang
diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu, bertakwalah kepada Allah.
Tetapi jika kamu kafir maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan
apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah dan Allah Maha Kaya dan Maha Terpuji.
(QS. An Nisaa` : 131)
Adalah Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam di
kebanyakan wasiatnya untuk para shahabat adalah ketakwaan kepada Allah Ta`ala.
Dalam hadist al `Irbaadh ibnu Saariyah bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam
bersabda :
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة
“Saya wasiatkan pada kalian untuk bertakwa
kepada Allah, mendengarkan dan mentaati para pemimpin”.[4]
Berkata Imam Tholq bin Habiib rahimahullahu
Ta`ala : “Yang dikatakan at takwa ialah kamu beramal untuk mentaati Allah
dibawah bimbingan cahaya dari Allah, dan kamu mengharapkan ganjaran dari Allah,
lalu kamu meninggalkan maksiat kepada Allah dan takut akan adzabNya Jalla
Sya`nuhu”.[5]
Berhati-hatilah dari seluruh maksiat besar
atau kecil, sesungguhnya Allah Ta`ala telah menjanjikan atas siapapun yang
menjauhi dosa-dosa besar akan menghapus dosa-dosa kecilnya, dan akan
memasukkannya ke dalam jannah-Nya. Allah Tabaaraka wa Ta`ala berfirman :
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ
عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلا كَرِيمًا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara
dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus
kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat
yang mulia (surga). (QS. An Nisaa` : 31)
Artinya, banyaknya kebajikan dan keberkahan
adalah dengan berhati-hati dari dosa-dosa kecil. Al-Imam al-Bukhari telah
meriwayatkan dalam shohihnya hadist dari Anas bin Maalik radhiallahu `anhu ,
beliau berkata :
إنكم لتعملون أعمالا هي أدق في أعينكم من
الشعر، إن كنا لنعدها على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم من الموبقات
“Sesungguhnya kalian telah mengamalkan
amalan-amalan yang dimata kalian lebih halus dari rambut, sesungguhnya kami
mengkategorikan di zaman Rasulullahi Shollallahu `alaihi wa Sallam sebagai
al-muubiqaat (yang membinasakan)”.[6]
Berkata Abu `Abdillah, yang dimaksudkan ini
ialah al Muhlikaat (yang membinasakan).
Berkata al Imam al Auza`iy : “Jangan kamu melihat
kepada kecilnya maksiat, akan tetapi lihatlah kepada besarnya siapa yang kamu
durhakai”.
Ketiga : Qudwah (teladan) yang baik.
Sudah menjadi hal yang dimaklumi bahwa
seorang penuntut ilmu akan terpengaruh dengan gurunya, dia akan senang untuk
taqlid pada gurunya dan berqudwah dengannya. Maka diwajibkan atas para pendidik
dan pengajar jangan sampai perkataannya menyelisihi perbuatannya, Allah Ta`ala
berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ
تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ # كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا
مَا لا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah
kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi
Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. As shof :
2-3)
Dan Allah Jalla Sya`nuhu berfirman tentang
Nabi-Nya Syu`aib `Alaihis Sholaatu was Sallaam :
قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ
عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَرَزَقَنِي مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَمَا أُرِيدُ
أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلا الإصْلاحَ مَا
اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ
أُنِيبُ
“Syu’aib berkata: “Hai kaumku, bagaimana
pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Rabbku dan dianugerahi-Nya
aku dari pada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? dan
aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang,
aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan, dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan)
Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.
(QS. Huud : 88)
Berkata penya`ir :
لا تنه عن خلق وتأتي
مثله عار عليك إذا فعلت عظيم
Jangan kamu melarang dari akhlaq yang jelek
lalu kamu mendatangi semisalnya,
`aib yang besar atas engkau bila kamu
mengerjakannya.
Keempat : Akhlaq yang baik.
Allah Ta`ala berfirman :
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ
لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
“Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku:
“Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya
syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS. Al Israa` : 53)
Allah Ta`ala firman :
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ
كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang
sangat setia. (QS. Fusshilat : 34)
Al Imam Tirmidziy telah meriwayatkan dalam
sunannya, hadist dari jalan Abu Darda` bahwa Nabi Shollallahu `alaihi wa Sallam
bersabda :
ما شيء أثقل في ميزان المؤمن يوم القيامة من
خلق حسن وإن الله ليبغض الفاحش البذيء
“Tidak ada sedikitpun yang lebih berat
ditimbangan seorang mukmin pada hari kiamat nanti dari akhlaq yang baik, dan
sesungguhnya Allah sangat membenci orang yang berkata keji dan jelek”.[7]
Akhlaq yang baik mencakup sisi-sisi yang
sangat banyak dari kehidupan seorang muslim dalam ucapan dan amalannya, dalam
ibadah kepada Rabbnya dan mu’amalahnya kepada sesama hamba Allah. Abdullah bin
al Mubaarak berkata : “Akhlaq yang baik ialah wajah yang berseri, menyebarkan
kebajikan, menahan gangguan, dan hendaklah kamu memberikan `udzur kepada
manusia”.
Saya wasiatkan kepada pengajar hendaklah
berakhlaq yang baik dengan sahabat-sahabatnya, dengan para muridnya, bahkan
dengan wali-wali muridnya, dan hendaklah berlemah lembut dalam bermu`amalah
dengan mereka.
Al Imam Muslim telah meriwayatkan satu hadist
dalam shohihnya dari jalan `Aisyah radhiallahu `anha bahwa Nabi Shollallahu
`alaihi wa Sallam bersabda :
إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من
شيء إلا شانه
“Tidak terdapat kelembutan pada sesuatu
kecuali menghiasinya, dan tidak dicabut kelembutan dari sesuatu kecuali
merusaknya”.[8]
Dan sesungguhnya Nabi Shollallahu `alaihi wa
Sallam adalah manusia yang paling baik akhlaqnya. Maka barangsiapa yang ingin
sampai kepada akhlaq yang mulia, hendaklah dia ber-uswah dengan Muhammad
Shollallahu `alaihi wa Sallam. Diriwayatkan dalam sunan at -Tirmidziy dari
jalan Anas bin Malik radhiallahu `anhu, beliau bersabda :
خدمت النبي عشر سنين، فما قال لي أف قط، وما
قال لشيء صنعته: لم صنعته؟ولا لشيء تركته: لم تركته؟
“Saya menjadi pembantu Nabi Shollallahu
`alaihi wa Sallam selama sepuluh tahun, sama sekali beliau tidak pernah berkata
uffin (menggerutu) pada saya, dan tidak pernah berkata terhadap sesuatu yang
saya perbuat : “kenapa kamu kerjakan itu?”, dan juga terhadap sesuatu yang saya
tinggalkan: “kenapa kamu tinggalkan itu?”.[9]
Kelima : Hendaklah seorang guru bersemangat
dalam mendidik anak didiknya dengan tarbiyatan shalihah.
Dia ajarkan pada mereka tentang
perkara-perkara Islam dan Iman, lalu dia tanamkan rasa kecintaan pada Allah dan
pengagungan-Nya di hati-hati mereka. Demikian juga kecintaan kepada Nabi
Shollallahu `alaihi wa Sallam, kemudian dia jelaskan pada mereka wajibnya
mengikuti beliau Shollallahu `alaihi wa Sallam, beramal dengan Sunnahnya
`alaihis Sholaatu was Salaam, ber-qudwah dengan Nabi Shollallahu `alaihi wa
Sallam, lalu diajarkan pada mereka adab-adab yang baik, dan akhlaq yang mulia,
seperti adab-adab masjid, majlis, menghormati guru dan orang yang lebih tua,
juga adab dengan teman-teman dan sahabat, dan biasakan kepada mereka bertutur
kata yang baik, dan peringatkan mereka dari perkataan yang jelek, dan selain
dari yang demikian dari adab-adab yang indah serta sifat-sifat yang mulia.
لحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على
نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Diterjemahkan oleh al Ustadz Abul
Mundzir/Dzul Akmal Lc, dari kitab: “ad Durarul Muntaqoot minal Kalimaatil
Mulqoot Duruus Yaumiyyah”, halaman 645-649, oleh ad Doktor Amin bin `Abdillah
as Syaqaawiy.
Rimbo Panjang, komplek Ponpes Ta`zhiimus
Sunnah as Salafiyah, Sabtu malam Ahad bertepatan dengan 25 Sya`ban 1430 H/15
Agustus 2009 M.
[1] Al Bukhaariy (2697),
Muslim (1718).
[2] Al Bukhaariy (1), Muslim
(1718).
[3] “Madaarijus Saalikin”, (2/93),
oleh al Imam Ibnu Qaiyyim al Jauziyyah.
[4] “Sunan Abi Daawud” (4607).
[5] “Siyaru A`laamin Nubalaa`”
(4/601), dan berkata al Imam Ibnu Qaiyim al Jauziyyah di “ar Risaalah at
Tabuukiyah”, halaman 26, “Ini merupakan difinisi yang paling terbaik dikatakan
tentang at Taqwa”. Dan al Imam adz Dzahabiy juga berkata di dalam “as Siyaru”,
(4/601) :
[6] Al Bukhaariy (6492).
[7] At Tirmidziy (2002), dan
berkata dia : hadist hasan shohih.
[8] Muslim (2593).
[9] At Tirmidziy (2015) asal hadist
ini dishohih al Bukhaariy dan Muslim.
[10] http://salwintt.wordpress.com/artikel/109-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar